Pernahkah kamu mendengar suara di dalam kepala yang berkata, “Apa sih pakai acara nangis segala, cengeng banget aku!” atau “Ah, gak penting banget sih, aku gak boleh ngerasa gini?” Mungkin tanpa sadar, kita sering meremehkan perasaan sendiri. Bahkan, kita mungkin terbiasa menekan emosi karena takut terlihat lemah atau dianggap terlalu sensitif. Namun, penting untuk disadari bahwa perasaan kita itu valid, dan setiap emosi yang muncul ada alasannya.
Mengapa Validasi Emosi Itu Penting?
Validasi emosi adalah proses mengakui dan menerima perasaan kita tanpa menghakimi atau mengabaikannya. Menurut Linehan (1993), validasi emosional adalah salah satu komponen utama dalam Dialectical Behavior Therapy (DBT), yang bertujuan membantu individu mengenali dan mengelola emosi mereka dengan lebih baik. Dalam praktik sehari-hari, validasi emosi dapat dimulai dengan mengakui apa yang kita rasakan dan memberi ruang pada emosi tersebut, tanpa langsung berusaha mengubah atau menekannya.
Penelitian menunjukkan bahwa ketika kita mengabaikan atau menekan emosi, hal ini dapat menyebabkan stres dan kecemasan yang lebih besar (Gross & John, 2003). Bahkan, emosi yang tidak tervalidasi bisa berkembang menjadi perasaan tidak berharga atau kurang percaya diri. Jadi, validasi perasaan bukan hanya tentang “membiarkan diri menangis” atau “menjadi cengeng”, tetapi tentang memberi ruang untuk perasaan kita dan mengakui bahwa emosi tersebut adalah bagian dari pengalaman manusia yang normal.
Cara Memulai Validasi Emosi
Mulai hari ini, coba berlatih untuk lebih sadar terhadap emosi yang kamu rasakan dan berikan ruang untuk mereka. Saat kamu merasa sedih, kecewa, atau lelah, cobalah katakan pada diri sendiri:
“Aku berhak merasa sedih, lelah, atau kecewa. Perasaan ini normal dan manusiawi.”
Langkah kecil ini bisa membuat perbedaan besar dalam cara kita merespons dan mengelola emosi. Selain itu, praktik validasi emosi ini dapat membantu mengurangi tekanan untuk “selalu terlihat kuat” dan membuka jalan untuk menerima diri secara utuh.
Memberi Ruang pada Emosi Tanpa Menghakimi
Menghakimi diri sendiri ketika sedang merasa emosional adalah kebiasaan yang umum, terutama ketika kita tumbuh di lingkungan yang mungkin tidak memberikan banyak ruang untuk mengekspresikan perasaan. Menurut Brené Brown (2012), budaya yang menganggap kerentanan sebagai kelemahan sering kali membuat kita merasa malu untuk mengekspresikan emosi, padahal kerentanan adalah kunci dari koneksi dan empati.
Untuk mulai memberi ruang pada emosi tanpa menghakimi, coba lakukan beberapa hal berikut:
- Kenali Emosi yang Muncul
Setiap kali kamu merasakan emosi yang kuat, ambil waktu sejenak untuk mengenalinya. Misalnya, katakan pada diri sendiri, “Aku merasa marah sekarang,” atau “Aku merasa kecewa.” Mengidentifikasi emosi dapat membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam diri kita. - Berhenti Sebentar dan Rasakan
Ketika kita merasakan emosi, biarkan diri kita merasakannya tanpa segera bereaksi atau menilai. Ini adalah langkah untuk memberi ruang pada emosi yang kita rasakan, tanpa tergesa-gesa untuk menyingkirkannya. - Berbicara dengan Diri Sendiri dengan Penuh Kasih Sayang
Coba berbicara pada diri sendiri seperti berbicara pada teman baik yang sedang mengalami kesulitan. Misalnya, katakan, “Tidak apa-apa merasa sedih, kamu sudah berusaha keras,” atau “Kamu manusia, wajar merasa kecewa.”
Manfaat Validasi Emosi
Dengan mempraktikkan validasi emosi, kita dapat meningkatkan kesehatan mental dan emosional kita. Validasi perasaan membantu kita:
- Mengurangi Stres dan Kecemasan
Menurut penelitian oleh Hayes et al. (2006), menerima emosi tanpa menghakimi dapat menurunkan tingkat stres dan meningkatkan kesejahteraan emosional. - Meningkatkan Hubungan dengan Orang Lain
Ketika kita mampu mengenali dan menerima emosi kita sendiri, kita cenderung lebih empati dan pengertian terhadap emosi orang lain, yang dapat memperbaiki hubungan interpersonal (Neff, 2003). - Meningkatkan Kesejahteraan Diri
Menerima dan menghargai semua aspek diri, termasuk emosi yang tidak nyaman, dapat membantu kita merasa lebih tenang dan menerima diri apa adanya.
Jadi, mulai sekarang, mari kita berikan ruang bagi setiap perasaan yang muncul, tanpa menghakimi atau menilai. Mengakui perasaan kita bukan berarti kita lemah, tetapi sebaliknya, menunjukkan keberanian kita untuk menerima diri apa adanya. Perasaanmu valid, dan kamu layak untuk merasakannya.
Daftar Pustaka
- Brown, B. (2012). Daring Greatly: How the Courage to Be Vulnerable Transforms the Way We Live, Love, Parent, and Lead. Gotham Books.
- Gross, J. J., & John, O. P. (2003). Individual differences in two emotion regulation processes: Implications for affect, relationships, and well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 85(2), 348-362.
- Hayes, S. C., Luoma, J. B., Bond, F. W., Masuda, A., & Lillis, J. (2006). Acceptance and commitment therapy: Model, processes and outcomes. Behaviour Research and Therapy, 44(1), 1-25.
- Linehan, M. M. (1993). Cognitive-Behavioral Treatment of Borderline Personality Disorder. Guilford Press.
- Neff, K. D. (2003). The development and validation of a scale to measure self-compassion. Self and Identity, 2(3), 223-250.